SEKATOJAMBI.COM, JAMBI – Di tengah sorotan publik terhadap arah pembaruan hukum Indonesia, langkah Pemerintah Kota Jambi dan Kejaksaan Negeri Jambi menandatangani Perjanjian Kerja Sama pelaksanaan pidana kerja sosial menjadi sinyal kuat bahwa era penjara sebagai sanksi utama mulai digeser menuju pendekatan yang lebih manusiawi. Namun, di balik optimisme itu, tersimpan pekerjaan rumah besar: mampukah pidana kerja sosial benar-benar menjadi jalan tengah yang adil, efektif, dan tidak sekadar seremonial?
Penandatanganan PKS oleh Wali Kota Jambi, Dr. dr. H. Maulana, M.K.M., dan Kepala Kejaksaan Negeri Jambi, Abdi Reza Fachlewi Junus, yang berlangsung Selasa (2/12/2025) di Auditorium Rumah Dinas Gubernur Jambi, bukan sekadar formalitas administratif. Ia merupakan kelanjutan implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang mulai berlaku efektif 2 Januari 2026. Dalam ketentuan baru tersebut, pidana kerja sosial ditetapkan sebagai pidana pokok—pengganti pidana penjara jangka pendek atau denda—yang dilaksanakan tanpa upah dan harus memberi manfaat nyata bagi masyarakat.
Kebijakan ini diharapkan menghadirkan wajah baru penegakan hukum di Indonesia. Pidana kerja sosial bukan hanya bentuk hukuman, tetapi jembatan rehabilitasi dan pembinaan sosial. Empat tujuan besar yang melandasinya—penerapan konsisten dan manusiawi, koordinasi yang kuat, optimalisasi peran masyarakat, serta penumbuhan kesadaran hukum pelaku—menegaskan orientasi reformasi yang lebih progresif. Namun, tujuan mulia saja tidak cukup; efektivitas kebijakan ini bergantung pada kesiapan infrastruktur, ketegasan regulasi teknis, dan kemampuan daerah menjaga integritas pelaksanaannya.
Wali Kota Jambi Maulana menegaskan kesiapan Pemkot untuk memastikan kebijakan ini berjalan di level akar rumput. Pembinaan terhadap Camat, Lurah, Lembaga Adat, tokoh agama, hingga tokoh masyarakat menjadi tahap awal yang menjanjikan. Pemerintah daerah, dalam hal ini memang menjadi motor penggerak yang menentukan apakah pidana kerja sosial akan menjadi instrumen pemberdayaan atau justru sekadar aktivitas simbolik tanpa dampak.
Peringatan yang sama disampaikan Kepala Kejari Jambi, Abdi Reza Fachlewi. Ia menekankan bahwa Kejaksaan tidak mungkin bekerja sendiri; Pemda adalah tulang punggung. Pelaksanaan pidana kerja sosial bersentuhan langsung dengan masyarakat, sehingga kolaborasi lintas lembaga menjadi mutlak. Penegakan hukum yang menonjolkan prinsip HAM, seperti ditegaskan Reza, harus melekat dalam setiap tahap pelaksanaannya, mulai dari penetapan jenis pekerjaan, durasi, hingga mekanisme pengawasan.
Gubernur Jambi Al Haris memberi apresiasi atas hadirnya KUHP baru sebagai wajah lain sistem hukum nasional—lebih humanis, lebih dekat dengan rasa keadilan publik. Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi, Sugeng Hariadi, bahkan menyebut kebijakan ini sebagai momentum pembaruan hukum yang tidak boleh berhenti pada seremoni penandatanganan. Pernyataan ini penting, karena di banyak daerah, kebijakan reformis kerap terhambat oleh minimnya komitmen teknis dan lemahnya kontrol lapangan.
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah pidana kerja sosial diperlukan, melainkan bagaimana memastikan penerapannya tidak menimbulkan persoalan baru. Tantangan ke depan cukup kompleks: bagaimana mencegah adanya “pesanan” pekerjaan sosial, bagaimana menjamin tidak terjadi eksploitasi terselubung, serta bagaimana memastikan pelaku tindak pidana memperoleh bimbingan yang benar-benar mengarah pada perubahan perilaku.
Rapat Koordinasi Camat se-Provinsi Jambi yang digelar setelah penandatanganan PKS menjadi awal penting sinkronisasi tugas, tetapi pembenahan sistem pengawasan dan mekanisme pelaporan harus segera dirumuskan. Tanpa standar operasional yang rinci, pelaksanaan di tingkat kelurahan hingga kecamatan berpotensi timpang dan menimbulkan celah penyalahgunaan.
Kehadiran sejumlah pejabat tinggi—Direktur E Jampidum Kejaksaan Agung RI, unsur Forkopimda, kepala daerah, dan seluruh kepala Kejari se-Provinsi Jambi—menggambarkan besarnya perhatian terhadap kebijakan ini. Namun, perhatian tidak boleh berhenti pada seremoni. Pidana kerja sosial hanya akan bermakna jika mampu menjadi jembatan pemulihan sosial, bukan hukuman alternatif yang kehilangan esensi.
Pada akhirnya, transformasi hukum tidak diukur dari tanda tangan pejabat, tetapi dari dampak langsung yang dirasakan masyarakat. Jika pelaksanaannya disiplin, transparan, dan akuntabel, pidana kerja sosial bisa menjadi praktik pemulihan hukum yang efektif: pelaku mendapat kesempatan memperbaiki diri, masyarakat memperoleh manfaat, dan negara hadir dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Pekerjaan besar masih menanti, tetapi keseriusan awal ini patut dicatat sebagai langkah positif menuju sistem hukum yang lebih adil, adaptif, dan berorientasi masa depan.


























